Stadion Sriwedari |
Sebelum berdirinya stadion Manahan, kota Solo telah memiliki stadion kebanggaan, Stadion Sriwedari, yang sampai sekarang aku tidak pernah setuju dengan penggunaan nama stadion menjadi "R.Maladi", apapun alasannya. Jelek. Stadion ini menjadi saksi yang tidak bisa berbicara, tuna wicara, alias saksi bisu Pekan Olahraga Nasional (PON) Pertama tahun 1948.
Ingatanku tertuju pada tahun 1995-an. Umurku 11 tahun waktu itu, dimana hasrat kesenangan kepada banyak hal sedang bergejolak.
Termasuk sepakbola. Piala Dunia 1994 turut mengantarkan lebih jauh
menggemari permainan ini. Aku bahkan pernah bergabung di sebuah SSB
(Sekolah Sepakbola) bernama SSB STIA-ASMI meskipun tidak banyak
bercerita sesuatu yang bisa dibanggakan dari sana, karena skill bermain
sepakbolaku yang tidak pernah berkembang. Butut lah pokoknya.
Pada kurun waktu itu kota Solo memiliki sebuah kebanggaan klub sepakbola
bernama Arseto. Klub yang didirikan tahun 1978 dan mulai berkandang di
Solo tahun 1983. Konon, nama Arseto diambil dari singkatan nama Ari Sigit Soeharto, cucu dari tokoh orba, Soeharto. Aku sendiri belum mengikuti perjalanan Arseto di kompetisi Galatama, karena masih berkutat dengan kegemaranku kepada Kotaro Minami. Bermarkas di stadion Sriwedari, Arseto mengarungi
kompetisi Galatama dan mencapai puncaknya dengan menjuarai kompetisi
Galatama tahun 1992. Ini dia klasemen akhir kompetisi Galatama. Keren yak Arseto !
Klasemen akhir kompetisi Galatama 1992 |
Tahun 1994 bergulirlah Liga Dunhill, era baru digabungnya kompetisi perserikatan dan galatama dengan pembagian dua wilayah berdasarkan letak geografis. Arseto sendiri tergabung di wilayah barat bersama Persib Bandung yang akhirnya keluar sebagai kampiun musim kompetisi 1994/1995 ini. Arseto sendiri menduduki peringkat 7 pada klasemen akhir wilayah barat dengan perolehan poin 48, di bawah Persiraja Banda Aceh. Pada Liga Dunhill musim berikutnya, Arseto terpuruk di urutan 13 klasemen akhir wilayah barat.
Kostum Arseto Solo di Liga Dunhill |
Musim 1996/1997, Liga Indonesia dengan nama Liga Kansas kembali digelar dengan format tiga wilayah, Barat, Tengah, dan Timur. Arseto sendiri berada dalam grup tengah, bersama 11 klub lain, seperti PSB Bogor, PSDS Deli Serdang, Mataram Indocement, dan mengakhiri kompetisi ini dengan berada di peringkat 7 dengan poin 26. Musim kompetisi selanjutnya, 1997/1998, kondisi politik Indonesia sedang porak-poranda, dan tentu saja berimbas kepada kompetisi sepakbolanya. Meskipun begitu, kompetisi tetap digulirkan tanpa sponsor, dan menggunakan nama Liga Indonesia. Terbagi menjadi 3 wilayah, Arseto menjadi penghuni grup tengah lagi. Liga 1997/1998 ini sangat mengharukan buatku, dan penggemar Arseto tentunya. Sedang menduduki peringkat 11 alias posisi paling buncit di klasemen sementara grup tengah, kompetisi musim ini akhirnya dihentikan tanggal 25 Mei 1998 karena kondisi politik Indonesia yang semakin tidak kondusif. Pertandingan melawan Pelita Jaya pada 6 Mei 1998 di stadion Sriwedari, menjadi pertandingan terakhir klub kebanggaan kota Solo ini. Arseto akhirnya menyatakan pembubaran dirinya pada tahun itu juga, dengan alasan yang simpang siur dan belum diketahui secara pasti.
I Komang Putra |
Rochi Puttiray |
Agung Setyabudi |
Skuad Arseto Solo selama mengarungi Liga Indonesia 1994-1998 sangat
menggemparkan, dengan adanya pemain yang menjadi langganan timnas
Indonesia seperti Rochi Puttiray, I Komang Putra, Sudirman, Agung
Setyabudi, Nova Arianto (saat itu dia menjadi striker lho!), Eduard
Tjong, sampai Miro Baldo Bento. ARSETO SOLO boleh bubar, tapi tidak akan pernah mati dalam detak jantungku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar